ISLAM
Agama yang paling di Ridhai Allah SWT adala agama Islam...
Kamis, 13 Januari 2011
ISLAM: Bagaimana menjadikan Siswa Semangat Belajar (2)
ISLAM: Bagaimana menjadikan Siswa Semangat Belajar (2): "Selasa, 11/01/2011 13:02 WIB 15 menit lagi jam menunjukkan angka 10, saat dimulainya anak-anak SMU ujian. Semua guru -termasuk dir..."
ISLAM: Bagaimana menjadikan Siswa Semangat Belajar (2)
ISLAM: Bagaimana menjadikan Siswa Semangat Belajar (2): "Selasa, 11/01/2011 13:02 WIB 15 menit lagi jam menunjukkan angka 10, saat dimulainya anak-anak SMU ujian. Semua guru -termasuk dir..."
Bagaimana menjadikan Siswa Semangat Belajar (2)
Selasa, 11/01/2011 13:02 WIB
15 menit lagi jam menunjukkan angka 10, saat dimulainya anak-anak SMU
ujian. Semua guru -termasuk diriku- pada sibuk beranjak dari tempat
duduknya di ruang guru dan mengambil soal ujian serta kertas jawaban di
meja ketua pengawas.
“Masya Allah, aku dapat mengawas di lantai 4. Bagaimana ini? Dokter melarangku terlalu capek dan naik tangga yang tinggi, apalagi sampai melangkahkan kaki hingga ke lantai 4.” Aku bercakap-cakap dengan diriku sendiri.
Dengan mengucapkan bismillah, aku tekadkan azzam dan berpikir positif bahwa aku bisa sampai ke lantai teratas itu dengan keadaan sehat dan afiat. Aku tidak boleh ragu, Karena ragu akan membuat setan mudah mempermainkan hati manusia. Tetap yakin, ridha dan tawakkal bahwa Allah selalu bersama setiap insan yang mengingat-Nya.
Alhamdulillah perlahan-lahan melangkah tapi pasti sambil berbicara dengan para guru hingga akhirnya sampai juga ke lantai 4.
Seperti biasa aku masuk ke dalam ruangan kelas dan berusaha untuk duduk dan menatap semua wajah siswa-siswa di depanku dengan wajah tenang. Tapi sayang, langit tak selamanya cerah, begitu juga suasana kelas ini berbeda jauh saat aku mengawas pada kelas pertama.
Guru sudah berada di depan kelas, siswa masih asyik lempar kertas kesana-sini, ngobrol sana-sini -ribut banget macem pasar aja-, belum lagi masih ada yang jalan sana-sini.
“Ehm..ehm...”, akhirnya aku mulai mengeluarkan suara ‘pura-pura’ batuk untuk menyindir mereka. Sebenarnya aku ingin marah sekali, tapi aku berusaha untuk sabar. Setelah itu semua siswa duduk pada tempatnya tapi tetap aja masih ribut dengan gaya duduk di kursi bak seorang preman pasar. Wanita ataupun laki-laki sama saja. Etikanya benar-benar minus banget.
Dengan tenangnya aku bertanya pada semua siswa, “Anak-anak, siapa ketua kelasnya di kelas ini untuk memimpin do’a agar segera dimulai pelaksaan ujian ini”
“Diaa... Buu.. Diaa Bu.., Diaa.. Buuuu” Jawab serempak anak-anak saling lempar tunjuk siapa ketua kelasnya.
Dengan sabar dan wajah senyum, bibir ini pun berucap,”jika tak segera dimulai nanti kalian ketinggalan waktu untuk menjawab soal”. Akhirnya ada seorang siswa mengalah dan memulai memimpin doa. Setelah itu mengucapkan salam.
“Beri salam sama Bu Guru. Assalaaaaaamu’alaikum warahmatullaaaaaaaahi wabarakaaaaaaaaatuh,” terdengar suara lantang siswa-siswa yang semangat mengucapkan salam.
"Baiklah, ibu akan membacakan peraturan dalam ujian ini ya". Saat membacakan peraturan dalam kelas, masih aja ada siswa yang cerita sana-sini, sepertinya siswa tersebut tidak menganggap ada seorang guru di depan.
“Oh ya Allah, berilah hamba kekuatan dan kelapangan hati agar dapat mengatasi kenakalan remaja di kelas ini”
Aku berusaha tidak marah —walaupun dulu guruku waktu SD, SMP atau SMA sering memukul meja atau penggaris kayu yang dipukul ke papan tulis agar siswanya menjadi diam— tapi aku tidak mau melakukan hal itu pada siswa yang masih belia ini —kelas 1 SMA— karena aku teringat betapa lembutnya para rasul saat berdialog dengan kaumnya dimasa Jahiliyah. Nabi Muhammad saw sendiri saat awal berdakwah dihadapkan pada siksaan dan tindakan represif dari kaum musyrikin tapi beliau selalu menanamkan kasih sayang dan kedamaian bahkan beliau sampai mengeluarkan kata-kata yang menggugah,
“Aku tidak diutus menjadi tukang laknat. Aku diutus sebagai penyebar rahmat.” (HR. Muslim, No. 1852)
Saat ujian di mulai, semua dalam keadaan tenang. Kecuali satu siswa yang namanya masih kuingat hingga sekarang -Sarmayanta-. Dia siswa yang benar-benar sudah kelewat batas kenakalannya. Walaupun ada guru masih tetap saja mengganggu temannya untuk meminta jawaban. Ingin sekali kuusir dia agar tidak menggangu teman di sebelahnya atau dibelakangnya yang menjadi kunci jawaban baginya.
Karena udah kesal melihat sikapnya, akhirnya kupanggil namanya dengan nada cukup ramah, “Sarmayanta, sudah selesaikah menjawab soal. Kalau sudah selesai sini kumpul sama ibu lembar jawaban dan soalnya”.
“Belum buuu..”, dijawabnya dengan suara lantang dan tatapan tajam seolah-olah dia lebih hebat, lebih tua dari diriku. “Masya Allah, sabarkan hamba ya Rabb.”
Tiada cara lain, maka aku harus ambil langkah terakhir. Akhirnya kubalas tatapannya dengan tatapan lembut dan penuh senyuman di wajahku. Subhanallah, benar-benar kekuatan senyum itu kembali kurasakan. Si Anak Nakal itu langsung tertunduk malu. Tiap dia menatap kepadaku —karena ingin mencari kesempatan bertanya sama temannya yang lain tentang kunci jawaban di saat-saat aku lagi menunduk atau membaca—, aku pun selalu memandangnya. Mukanya menjadi merah, menunduk, cara duduknya pun mulai berubah menghadap ke depan, bukan duduk kesamping lagi dengan kaki di atas kursi.
Alhamdulilah ya Rabb, benar-benar kedahsyatan dari kekuatan senyum itu kembali kurasakan. Kalau sudah seperti ini, akhirnya kupandangi satu persatu wajah siswa-siswa yang sedang menjawab pertanyaan. Karena aku tidak mau marah, lebih baik ketika mereka bertanya ke teman yang lain aku pandangi mereka dengan wajah ramah penuh senyuman. Hal tersebut membuat mereka membalas senyumanku dan tertunduk malu. Karena mereka tahu apa yang mereka lakukan adalah tindakan yang salah ketika ujian.
*senangnya diriku melihat siswaku tersenyum dengan penuh rasa cinta*
Menjelang 15 menit sebelum waktu selesai, aku memperkenalkan latar belakangku pada semua siswa -sama seperti yang kulakukan saat aku mengawas pada kelas sebelumnya. Akan tetapi, untuk siswa model seperti ini ‘bandel bin jogal’ alias ga bisa diatur, aku lebih dulu mengajak mereka bermain bersama agar pikiran mereka refresh bahwa belajar itu menyenangkan.
Mulailah aku menunjuk satu persatu siswa dengan jariku dan bertanya apa cita-cita mereka di masa depan.
“Dokter bu...”
“Orang berguna bu..”
“Guru bu...”
“Arsitek”
“Nah, kalau Sarmayanta cita-citanya apa?”, sapaku pada anak yang cukup nakal itu dengan wajah ceria dan senyum.
“Tukaang Beeeccaaakkk buuuu...”, jawabnya penuh optimis dan antusias
“Ha ha ha ha ha ha ha ha ha”, semua siswa serempak ketawa termasuk diriku yang tersenyum mendengarnya berkata demikian. Kok bisa tukang becak dijadikan cita-cita.
Tapi selanjutnya aku berkata padanya, “Tidak apa-apa bila ingin menjadi tukang becak, asal jadi pengusahanya. Sarmayanta memiliki banyak becak yang bisa diusahakan kepada yang lain. Itu baru ya namanya cita-cita. Kerenkan, Sarmayanta bisa menjadi bos”
“Iya, benar juga yang dikatakan ibu”, kata beberapa siswa di kelas tersebut.
Semua mata tertuju padaku dengan wajah takjub. Dan kulihat senyuman terukir di wajah anak nakal itu. Alhamdulillah kubisa meraih simpatinya.
Setelah itu aku mulai memperkenalkan siapa diriku dan mereka semakin semangat. Karena mereka ingin lulus kelak masuk Perguruan Tinggi Negeri.
Sebelum seluruh siswa keluar, aku bertanya pada mereka tentang mengapa mereka harus sampai menjawab soal itu semua dengan berbagai cara. Ternyata alasannya ‘takut’ nilai rendah dan menjadi ‘tinggal kelas’. Dengan spontan dan antusias aku berkata,
“Kalian tidak akan tinggal kelas anakku. Guru kalian tidak akan buat kalian tinggal kelas hanya karena nilai rendah, yang terpenting adalah kalian selalu hadir, rajin dan tekun belajar. Nilai ibu merah untuk fisika, tapi ibu tetap semangat terus mempelajarinya. Kalian mau tau teknik agar bisa seseorang itu di banggakan guru dan kalian menjadi cerdas?”
“Mau buuuu...”, seluruh siswa jawab dengan riuh dan semangat juang yang tinggi.
“Kuncinya cuma satu. Berlatih. Kalian jawab semua tugas yang ada di buku. Contoh: soal matematika, fisika, dll. Jadi ketika guru bilang, kerjakan no sekian? Siapa yang bisa mengerjakannya di papan tulis akan dapat bonus nilai. Nah, karena kalian telah kerjakan di rumah, maka kalian bisa menjawabnya serta menjadi orang yang pertama maju ke depan kelas sehingga membuat guru sayang pada kalian karena kalian cerdas. Itulah sebuah usaha. Jangan lupa disertai juga dengan do’a kepada Allah swt”, aku berkata dengan penuh semangat optimis dan ramah kepada semua siswa.
Alhamdulillah, semua siswa keluar dengan tertib, hanya tinggal satu orang anak wanita sambil menunjukkan buku biologinya padaku: “Bu, tadi saya lupa pengertian tentang biokatalisator dan apa-apa saja yang dihasilkan dalam proses fotosintesis”
Dengan senyuman kujawab, “catatlah soal-soal dan jawaban yang dirasa sulit atau tidak dapat saat ujian di buku catatan kecil. Karena ini akan menjadi memori yang tidak bisa dilupakan dan lihatlah dengan jeli setiap soal itu berhubungan dengan kehidupan sehari-hari seperti jenis virus, bentuk virus, jenis-jenis jamur yang biasa kita makan sehari-hari dan”.
“Makasih ya bu dan mohon do’akan saya bu agar saya kelak bisa menjadi seorang dokter”, tutur anak wanita yang manis dan cantik tersebut padaku. Sungguh aku terharu mendengar ucapannya. Walaupun cuma sehari tapi cukup mengesankan bagiku. Subhanallah.
Selanjutnya aku ke ruang guru mengantar semua berkas dan permisi kembali kepada Ketua Pengawas bahwa tugas saya selesai. Bahagia hati ini karena semua guru ikut ramah padaku dan tersenyum.
Sungguh senyum itu membawa berkah. Senyum juga mendatangkan kelembutan dan sikap ramah kepada manusia. Jiwa kan tenang. Hati menjadi tentram. Jika kita memiliki sikap itu maka dapat membuat hati yang keras menjadi lunak, manrik simpati, membawa kebaikan serta membuat nyaman orang yang berada di dekat kita.
(Selesai)
***
Semoga kisah true story saya ini memberi hikmah bagi kita semua khususnya para Guru maupun para ibu yang akan membimbing anaknya menjadi generasi cerdas dan bertakwa.
Evi Andriani
sumber : http://www.eramuslim.com/kisah/evi-andriani-the-power-of-smile-bagaimana-menjadikan-siswa-semangat-belajar-tahap-2.htm
“Masya Allah, aku dapat mengawas di lantai 4. Bagaimana ini? Dokter melarangku terlalu capek dan naik tangga yang tinggi, apalagi sampai melangkahkan kaki hingga ke lantai 4.” Aku bercakap-cakap dengan diriku sendiri.
Dengan mengucapkan bismillah, aku tekadkan azzam dan berpikir positif bahwa aku bisa sampai ke lantai teratas itu dengan keadaan sehat dan afiat. Aku tidak boleh ragu, Karena ragu akan membuat setan mudah mempermainkan hati manusia. Tetap yakin, ridha dan tawakkal bahwa Allah selalu bersama setiap insan yang mengingat-Nya.
Alhamdulillah perlahan-lahan melangkah tapi pasti sambil berbicara dengan para guru hingga akhirnya sampai juga ke lantai 4.
Seperti biasa aku masuk ke dalam ruangan kelas dan berusaha untuk duduk dan menatap semua wajah siswa-siswa di depanku dengan wajah tenang. Tapi sayang, langit tak selamanya cerah, begitu juga suasana kelas ini berbeda jauh saat aku mengawas pada kelas pertama.
Guru sudah berada di depan kelas, siswa masih asyik lempar kertas kesana-sini, ngobrol sana-sini -ribut banget macem pasar aja-, belum lagi masih ada yang jalan sana-sini.
“Ehm..ehm...”, akhirnya aku mulai mengeluarkan suara ‘pura-pura’ batuk untuk menyindir mereka. Sebenarnya aku ingin marah sekali, tapi aku berusaha untuk sabar. Setelah itu semua siswa duduk pada tempatnya tapi tetap aja masih ribut dengan gaya duduk di kursi bak seorang preman pasar. Wanita ataupun laki-laki sama saja. Etikanya benar-benar minus banget.
Dengan tenangnya aku bertanya pada semua siswa, “Anak-anak, siapa ketua kelasnya di kelas ini untuk memimpin do’a agar segera dimulai pelaksaan ujian ini”
“Diaa... Buu.. Diaa Bu.., Diaa.. Buuuu” Jawab serempak anak-anak saling lempar tunjuk siapa ketua kelasnya.
Dengan sabar dan wajah senyum, bibir ini pun berucap,”jika tak segera dimulai nanti kalian ketinggalan waktu untuk menjawab soal”. Akhirnya ada seorang siswa mengalah dan memulai memimpin doa. Setelah itu mengucapkan salam.
“Beri salam sama Bu Guru. Assalaaaaaamu’alaikum warahmatullaaaaaaaahi wabarakaaaaaaaaatuh,” terdengar suara lantang siswa-siswa yang semangat mengucapkan salam.
"Baiklah, ibu akan membacakan peraturan dalam ujian ini ya". Saat membacakan peraturan dalam kelas, masih aja ada siswa yang cerita sana-sini, sepertinya siswa tersebut tidak menganggap ada seorang guru di depan.
“Oh ya Allah, berilah hamba kekuatan dan kelapangan hati agar dapat mengatasi kenakalan remaja di kelas ini”
Aku berusaha tidak marah —walaupun dulu guruku waktu SD, SMP atau SMA sering memukul meja atau penggaris kayu yang dipukul ke papan tulis agar siswanya menjadi diam— tapi aku tidak mau melakukan hal itu pada siswa yang masih belia ini —kelas 1 SMA— karena aku teringat betapa lembutnya para rasul saat berdialog dengan kaumnya dimasa Jahiliyah. Nabi Muhammad saw sendiri saat awal berdakwah dihadapkan pada siksaan dan tindakan represif dari kaum musyrikin tapi beliau selalu menanamkan kasih sayang dan kedamaian bahkan beliau sampai mengeluarkan kata-kata yang menggugah,
“Aku tidak diutus menjadi tukang laknat. Aku diutus sebagai penyebar rahmat.” (HR. Muslim, No. 1852)
Saat ujian di mulai, semua dalam keadaan tenang. Kecuali satu siswa yang namanya masih kuingat hingga sekarang -Sarmayanta-. Dia siswa yang benar-benar sudah kelewat batas kenakalannya. Walaupun ada guru masih tetap saja mengganggu temannya untuk meminta jawaban. Ingin sekali kuusir dia agar tidak menggangu teman di sebelahnya atau dibelakangnya yang menjadi kunci jawaban baginya.
Karena udah kesal melihat sikapnya, akhirnya kupanggil namanya dengan nada cukup ramah, “Sarmayanta, sudah selesaikah menjawab soal. Kalau sudah selesai sini kumpul sama ibu lembar jawaban dan soalnya”.
“Belum buuu..”, dijawabnya dengan suara lantang dan tatapan tajam seolah-olah dia lebih hebat, lebih tua dari diriku. “Masya Allah, sabarkan hamba ya Rabb.”
Tiada cara lain, maka aku harus ambil langkah terakhir. Akhirnya kubalas tatapannya dengan tatapan lembut dan penuh senyuman di wajahku. Subhanallah, benar-benar kekuatan senyum itu kembali kurasakan. Si Anak Nakal itu langsung tertunduk malu. Tiap dia menatap kepadaku —karena ingin mencari kesempatan bertanya sama temannya yang lain tentang kunci jawaban di saat-saat aku lagi menunduk atau membaca—, aku pun selalu memandangnya. Mukanya menjadi merah, menunduk, cara duduknya pun mulai berubah menghadap ke depan, bukan duduk kesamping lagi dengan kaki di atas kursi.
Alhamdulilah ya Rabb, benar-benar kedahsyatan dari kekuatan senyum itu kembali kurasakan. Kalau sudah seperti ini, akhirnya kupandangi satu persatu wajah siswa-siswa yang sedang menjawab pertanyaan. Karena aku tidak mau marah, lebih baik ketika mereka bertanya ke teman yang lain aku pandangi mereka dengan wajah ramah penuh senyuman. Hal tersebut membuat mereka membalas senyumanku dan tertunduk malu. Karena mereka tahu apa yang mereka lakukan adalah tindakan yang salah ketika ujian.
*senangnya diriku melihat siswaku tersenyum dengan penuh rasa cinta*
Menjelang 15 menit sebelum waktu selesai, aku memperkenalkan latar belakangku pada semua siswa -sama seperti yang kulakukan saat aku mengawas pada kelas sebelumnya. Akan tetapi, untuk siswa model seperti ini ‘bandel bin jogal’ alias ga bisa diatur, aku lebih dulu mengajak mereka bermain bersama agar pikiran mereka refresh bahwa belajar itu menyenangkan.
Mulailah aku menunjuk satu persatu siswa dengan jariku dan bertanya apa cita-cita mereka di masa depan.
“Dokter bu...”
“Orang berguna bu..”
“Guru bu...”
“Arsitek”
“Nah, kalau Sarmayanta cita-citanya apa?”, sapaku pada anak yang cukup nakal itu dengan wajah ceria dan senyum.
“Tukaang Beeeccaaakkk buuuu...”, jawabnya penuh optimis dan antusias
“Ha ha ha ha ha ha ha ha ha”, semua siswa serempak ketawa termasuk diriku yang tersenyum mendengarnya berkata demikian. Kok bisa tukang becak dijadikan cita-cita.
Tapi selanjutnya aku berkata padanya, “Tidak apa-apa bila ingin menjadi tukang becak, asal jadi pengusahanya. Sarmayanta memiliki banyak becak yang bisa diusahakan kepada yang lain. Itu baru ya namanya cita-cita. Kerenkan, Sarmayanta bisa menjadi bos”
“Iya, benar juga yang dikatakan ibu”, kata beberapa siswa di kelas tersebut.
Semua mata tertuju padaku dengan wajah takjub. Dan kulihat senyuman terukir di wajah anak nakal itu. Alhamdulillah kubisa meraih simpatinya.
Setelah itu aku mulai memperkenalkan siapa diriku dan mereka semakin semangat. Karena mereka ingin lulus kelak masuk Perguruan Tinggi Negeri.
Sebelum seluruh siswa keluar, aku bertanya pada mereka tentang mengapa mereka harus sampai menjawab soal itu semua dengan berbagai cara. Ternyata alasannya ‘takut’ nilai rendah dan menjadi ‘tinggal kelas’. Dengan spontan dan antusias aku berkata,
“Kalian tidak akan tinggal kelas anakku. Guru kalian tidak akan buat kalian tinggal kelas hanya karena nilai rendah, yang terpenting adalah kalian selalu hadir, rajin dan tekun belajar. Nilai ibu merah untuk fisika, tapi ibu tetap semangat terus mempelajarinya. Kalian mau tau teknik agar bisa seseorang itu di banggakan guru dan kalian menjadi cerdas?”
“Mau buuuu...”, seluruh siswa jawab dengan riuh dan semangat juang yang tinggi.
“Kuncinya cuma satu. Berlatih. Kalian jawab semua tugas yang ada di buku. Contoh: soal matematika, fisika, dll. Jadi ketika guru bilang, kerjakan no sekian? Siapa yang bisa mengerjakannya di papan tulis akan dapat bonus nilai. Nah, karena kalian telah kerjakan di rumah, maka kalian bisa menjawabnya serta menjadi orang yang pertama maju ke depan kelas sehingga membuat guru sayang pada kalian karena kalian cerdas. Itulah sebuah usaha. Jangan lupa disertai juga dengan do’a kepada Allah swt”, aku berkata dengan penuh semangat optimis dan ramah kepada semua siswa.
Alhamdulillah, semua siswa keluar dengan tertib, hanya tinggal satu orang anak wanita sambil menunjukkan buku biologinya padaku: “Bu, tadi saya lupa pengertian tentang biokatalisator dan apa-apa saja yang dihasilkan dalam proses fotosintesis”
Dengan senyuman kujawab, “catatlah soal-soal dan jawaban yang dirasa sulit atau tidak dapat saat ujian di buku catatan kecil. Karena ini akan menjadi memori yang tidak bisa dilupakan dan lihatlah dengan jeli setiap soal itu berhubungan dengan kehidupan sehari-hari seperti jenis virus, bentuk virus, jenis-jenis jamur yang biasa kita makan sehari-hari dan”.
“Makasih ya bu dan mohon do’akan saya bu agar saya kelak bisa menjadi seorang dokter”, tutur anak wanita yang manis dan cantik tersebut padaku. Sungguh aku terharu mendengar ucapannya. Walaupun cuma sehari tapi cukup mengesankan bagiku. Subhanallah.
Selanjutnya aku ke ruang guru mengantar semua berkas dan permisi kembali kepada Ketua Pengawas bahwa tugas saya selesai. Bahagia hati ini karena semua guru ikut ramah padaku dan tersenyum.
Sungguh senyum itu membawa berkah. Senyum juga mendatangkan kelembutan dan sikap ramah kepada manusia. Jiwa kan tenang. Hati menjadi tentram. Jika kita memiliki sikap itu maka dapat membuat hati yang keras menjadi lunak, manrik simpati, membawa kebaikan serta membuat nyaman orang yang berada di dekat kita.
(Selesai)
***
Semoga kisah true story saya ini memberi hikmah bagi kita semua khususnya para Guru maupun para ibu yang akan membimbing anaknya menjadi generasi cerdas dan bertakwa.
Evi Andriani
sumber : http://www.eramuslim.com/kisah/evi-andriani-the-power-of-smile-bagaimana-menjadikan-siswa-semangat-belajar-tahap-2.htm
Bagaimana menjadikan Siswa Semangat Belajar (1)
Selasa, 04/01/2011 08:22 WIB
“Assalamu’alaikum adikku Evi” sapa salah satu kakakku dari
majelis taklim.
“Wa’alaikum salam kak. Ada apa kak, tumben nelpon?”
“Besok ada kegiatan ngga? Kakak mau minta bantuan untuk menggantikan teman kakak sebagai pengawas ujian. Kalau evi mau nanti no HP evi kakak kasih ke beliau. Dia ada urusan yang penting” jawab kakak penuh harap cemas agar aku menyetujuinya.
Berpikir sejenak-kesempatan ini belum tentu datang untuk kedua kali, jadi harus diambil pengalaman yang bermanfaat ini demi ilmu dan wawasan, maka kuberkata padanya dengan optimis, “OK kak. Insya Allah Evi bisa!”
Setengah jam kemudian, teman kakakku itu telpon dan mengatakan besok aku mengawas ujian jam 07.25 dan sebelum jam dimulai harus hadir tepat waktu karena sekolah itu terkenal disiplin, bersih dan rapi.
Tiba sampai di yayasan tersebut, mulailah kumencari gedung mana untuk SMU, Universitas, dll. Setelah bertanya dengan pak Satpam, aku langung masuk ke gedung SMU lalu menuju ke ruangan guru. Semua terasa asing bagiku. Karena aku belum pernah merasakan menjadi seorang guru di sekolah.
Akhirnya dengan senyum manis, aku langsung menyapa, "Selamat pagi Pak, saya mau mencari Kepala Pengawas di sini. Saya adalah pengganti dari Pak Bambang (bukan nama sebenarnya)."
Wah, subhanallah ternyata kekuatan senyum, ramah tamah dan sopan santun dalam bertingkahlaku membuat saya diterima dengan baik dan dihormati ibu dan bapak guru di sekolah tersebut. Mereka pun langsung ajak berbicara dan mulailah bercakap-cakap antara sesama guru tentang perilaku siswanya, kondisi jalan macet akibat maraknya penduduk ikut CPNS Daerah, serta ada yang ngobrol sambil baca koran.
Jadi ingat sebuah hadist Rasulullah SAW yaitu Senyum adalah sedekah, karena orang yang tersenyum adalah orang yang mampu memberikan rasa aman dan rasa persahabatan pada orang lain. Senyum juga menggambarkan karakter kondisi si pemberi senyum bahwa ia mempunyai sifat lembut, ramah, dan bersahaja. Untuk memotivasi para sahabat, suatu hari Rasulullah SAW berpesan, "Janganlah kalian menganggap remeh kebaikan itu, walaupun itu hanya bermuka cerah pada orang lain." (HR Muslim).
Tiba-tiba ada seorang ibu menyapaku : ‘Ibu, istrinya pak Bambang ya?”
Dengan wajah terkejut dan spontan aku langsung jawab : “Bukan Bu, saya temannya yang menggantikannya sementara”.
“Ada-ada aja, dakukan masih single alias belum menikah hehehe..”, jawabku dalam hati sampai tersenyum kepada ibu bapak di ruangan tersebut.
***
Ketika mulai naik lantai dua dan mulai mengawas. Ada keunikan terjadi. Yang pasti pada awal-awal pertemuan Evi panggil mereka dengan sebutan ‘Adek’, seharusnya kan ‘ibu dan anak’. ^_^. Yah begitulah jika kita belum membiasakan diri menjadi seorang guru.
“Beri salam sama Bu Guru. Assalaaaaaamu’alaikum warahmatullaaaaaaaahi wabarakaaaaaaaaatuh,” riuh suara serempak anak-anak yang sangat panjang. Saya langsung tersipu grogi dan membalas salam mereka dengan wajah senyum ceria. Lalu berdo’a.
"Baiklah, ibu akan membacakan peraturan dalam ujian ini ya.."
Setelah soal dan kertas jawaban dibagikan. Ada seorang siswa mengacungkan jarinya dan berkata: “Bu, soal nomor 21 nggak ada pertanyaannya”
“Ya dek, ntar ibu keluar dulu akan ibu tanyakan ke dosen, ehh guru di sini”, wah seperti biasa siswa senang aja jika gurunya meninggalkan ruangan. Tapi terlintas baru sadar, “kenapa tadi aku panggil ‘dek’ ya?” :D
Ujian pun berlangsung dengan suasana sunyi senyap. Ketika 15 menit sebelum dikumpul kertas jawaban, Evi ingati siswa-siswa untuk periksa ulang kertas jawaban-apaakah sudah terisi semua dengan baik atau tidak. Sepintas mulailah mulut ini bercerita dan menyampaikan wejangan pagi hari di depan murid kelas dua.
“Sebenarnya tadi ibu tahu kalian banyak tanya sana sini, tapi apa manfaatnya buat masa depan kalian. Tidak ada kan. Sebelumnya, Ibu ingin memperkenalkan diri, Ibu disini adalah pengganti guru sementara kalian—Pak Bambang. Ibu baru lulus dari UI jurusan teknik elektro dan saat ini sedang menempuh S2 —pascasarjana USU— jurusan teknik elektro juga.
“Wahhhh...” Wajah anak-anak terlihat takjub saat kuceritakan latar belakangku karena mereka juga ingin masuk perguruan tinggi favourite mereka masing-masing. Sesaat kemudian mereka langsung menunduk dan diam seperti sedang merenungi sebuah impian masa depan.
“Siswa-siswaku, jika kalian tanya ibu tentang pelajaran Biologi, insya Allah ibu masih kuasai. Soal-soal yang kalian jawab itu, juga ibu masih bisa jawab dan menjelaskannya seperti tentang simbiosis, mitosis, virus, spora, ilmu genetika, dll. Semua itu ibu masih ingat. Anak-anakku mau tau resepnya apa?”
“Mau.. Mau.. Buuuuuuu...” , jawab seluruh murid dengan antusias.
“Karena ibu saat sekolah dulu memahami ilmu dan konsepnya. Ibu paham i pelajaran tersebut.
Jadi sampai kapanpun, berapa pun usia kita, kita masih ingat di buku apa, halaman berapa? Walaupun jurusan ibu fisika. Apakah kalian takut nilai rendah? Dulu nilai fisika ibu selalu merah tapi mengapa ibu bisa ambil jurusan elektro yang sebagian besar adalah fisika karena ibu merasa ‘tertantang’ untuk mendalami ilmu tersebut dan ada keinginan untuk terus belajar serta bertanya pada orang yang tahu. Sering-sering berdiskusi siswaku. Hanya satu pesan ibu, janganlah kalian pelit ilmu sama teman kalian sendiri. Karena ilmu itu adalah sinar yang akan terus menerangi. Semakin banyak kalian memberikan ilmu, maka semakin banyak pula ilmu kalian. Selain ilmu kalian mau pahala juga kan yang akan mengalir terus menerus dari Allah?”
“Mau Buuuuu”, semua murid-murid menjawab serempak dengan suara cukup keras dan wajah ceria setelah mendengar cerita itu.
“Tapi ibu besok ngawas lagi kan” kata beberapa orang anak kepadaku
“Alhamdulillah, besok ibu tidak mengawas lagi.”
Selintas kumelihat wajah sedih mereka. “Betapa mereka ini sebenarnya adalah generasi yang cerdas dan bercahaya apabila dididik dengan pola yang benar. Mereka adalah generasi LUAR BIASA jika guru meyakinkan kepada mereka bahwa mereka adalah yang terbaik.”
Tak terasa bel berbunyi. Semuanya pulang dengan tertib dan menyalamiku layaknya seorang anak kepada ibu kandungnya. Senangnya kumelihat mereka.
Sembari salam, ada beberapa anak yang berucap, “Ibu, aku ingin jadi seperti Ibu. Doakan aku ya bu.”
Terharu batinku mendengar ucapan yang keluar dari anak-anak yang masih muda itu. Semoga Allah selalu menjaga mereka dan membimbing mereka ke jalan yang lurus.
(bersambung, insya Alloh)
***
Semoga kisah true story saya ini memberi hikmah bagi kita semua khususnya para Guru maupun para ibu yang akan membimbing anaknya menjadi generasi cerdas dan bertakwa.
Evi Andriani
“Wa’alaikum salam kak. Ada apa kak, tumben nelpon?”
“Besok ada kegiatan ngga? Kakak mau minta bantuan untuk menggantikan teman kakak sebagai pengawas ujian. Kalau evi mau nanti no HP evi kakak kasih ke beliau. Dia ada urusan yang penting” jawab kakak penuh harap cemas agar aku menyetujuinya.
Berpikir sejenak-kesempatan ini belum tentu datang untuk kedua kali, jadi harus diambil pengalaman yang bermanfaat ini demi ilmu dan wawasan, maka kuberkata padanya dengan optimis, “OK kak. Insya Allah Evi bisa!”
Setengah jam kemudian, teman kakakku itu telpon dan mengatakan besok aku mengawas ujian jam 07.25 dan sebelum jam dimulai harus hadir tepat waktu karena sekolah itu terkenal disiplin, bersih dan rapi.
Tiba sampai di yayasan tersebut, mulailah kumencari gedung mana untuk SMU, Universitas, dll. Setelah bertanya dengan pak Satpam, aku langung masuk ke gedung SMU lalu menuju ke ruangan guru. Semua terasa asing bagiku. Karena aku belum pernah merasakan menjadi seorang guru di sekolah.
Akhirnya dengan senyum manis, aku langsung menyapa, "Selamat pagi Pak, saya mau mencari Kepala Pengawas di sini. Saya adalah pengganti dari Pak Bambang (bukan nama sebenarnya)."
Wah, subhanallah ternyata kekuatan senyum, ramah tamah dan sopan santun dalam bertingkahlaku membuat saya diterima dengan baik dan dihormati ibu dan bapak guru di sekolah tersebut. Mereka pun langsung ajak berbicara dan mulailah bercakap-cakap antara sesama guru tentang perilaku siswanya, kondisi jalan macet akibat maraknya penduduk ikut CPNS Daerah, serta ada yang ngobrol sambil baca koran.
Jadi ingat sebuah hadist Rasulullah SAW yaitu Senyum adalah sedekah, karena orang yang tersenyum adalah orang yang mampu memberikan rasa aman dan rasa persahabatan pada orang lain. Senyum juga menggambarkan karakter kondisi si pemberi senyum bahwa ia mempunyai sifat lembut, ramah, dan bersahaja. Untuk memotivasi para sahabat, suatu hari Rasulullah SAW berpesan, "Janganlah kalian menganggap remeh kebaikan itu, walaupun itu hanya bermuka cerah pada orang lain." (HR Muslim).
Tiba-tiba ada seorang ibu menyapaku : ‘Ibu, istrinya pak Bambang ya?”
Dengan wajah terkejut dan spontan aku langsung jawab : “Bukan Bu, saya temannya yang menggantikannya sementara”.
“Ada-ada aja, dakukan masih single alias belum menikah hehehe..”, jawabku dalam hati sampai tersenyum kepada ibu bapak di ruangan tersebut.
***
Ketika mulai naik lantai dua dan mulai mengawas. Ada keunikan terjadi. Yang pasti pada awal-awal pertemuan Evi panggil mereka dengan sebutan ‘Adek’, seharusnya kan ‘ibu dan anak’. ^_^. Yah begitulah jika kita belum membiasakan diri menjadi seorang guru.
“Beri salam sama Bu Guru. Assalaaaaaamu’alaikum warahmatullaaaaaaaahi wabarakaaaaaaaaatuh,” riuh suara serempak anak-anak yang sangat panjang. Saya langsung tersipu grogi dan membalas salam mereka dengan wajah senyum ceria. Lalu berdo’a.
"Baiklah, ibu akan membacakan peraturan dalam ujian ini ya.."
Setelah soal dan kertas jawaban dibagikan. Ada seorang siswa mengacungkan jarinya dan berkata: “Bu, soal nomor 21 nggak ada pertanyaannya”
“Ya dek, ntar ibu keluar dulu akan ibu tanyakan ke dosen, ehh guru di sini”, wah seperti biasa siswa senang aja jika gurunya meninggalkan ruangan. Tapi terlintas baru sadar, “kenapa tadi aku panggil ‘dek’ ya?” :D
Ujian pun berlangsung dengan suasana sunyi senyap. Ketika 15 menit sebelum dikumpul kertas jawaban, Evi ingati siswa-siswa untuk periksa ulang kertas jawaban-apaakah sudah terisi semua dengan baik atau tidak. Sepintas mulailah mulut ini bercerita dan menyampaikan wejangan pagi hari di depan murid kelas dua.
“Sebenarnya tadi ibu tahu kalian banyak tanya sana sini, tapi apa manfaatnya buat masa depan kalian. Tidak ada kan. Sebelumnya, Ibu ingin memperkenalkan diri, Ibu disini adalah pengganti guru sementara kalian—Pak Bambang. Ibu baru lulus dari UI jurusan teknik elektro dan saat ini sedang menempuh S2 —pascasarjana USU— jurusan teknik elektro juga.
“Wahhhh...” Wajah anak-anak terlihat takjub saat kuceritakan latar belakangku karena mereka juga ingin masuk perguruan tinggi favourite mereka masing-masing. Sesaat kemudian mereka langsung menunduk dan diam seperti sedang merenungi sebuah impian masa depan.
“Siswa-siswaku, jika kalian tanya ibu tentang pelajaran Biologi, insya Allah ibu masih kuasai. Soal-soal yang kalian jawab itu, juga ibu masih bisa jawab dan menjelaskannya seperti tentang simbiosis, mitosis, virus, spora, ilmu genetika, dll. Semua itu ibu masih ingat. Anak-anakku mau tau resepnya apa?”
“Mau.. Mau.. Buuuuuuu...” , jawab seluruh murid dengan antusias.
“Karena ibu saat sekolah dulu memahami ilmu dan konsepnya. Ibu paham i pelajaran tersebut.
Jadi sampai kapanpun, berapa pun usia kita, kita masih ingat di buku apa, halaman berapa? Walaupun jurusan ibu fisika. Apakah kalian takut nilai rendah? Dulu nilai fisika ibu selalu merah tapi mengapa ibu bisa ambil jurusan elektro yang sebagian besar adalah fisika karena ibu merasa ‘tertantang’ untuk mendalami ilmu tersebut dan ada keinginan untuk terus belajar serta bertanya pada orang yang tahu. Sering-sering berdiskusi siswaku. Hanya satu pesan ibu, janganlah kalian pelit ilmu sama teman kalian sendiri. Karena ilmu itu adalah sinar yang akan terus menerangi. Semakin banyak kalian memberikan ilmu, maka semakin banyak pula ilmu kalian. Selain ilmu kalian mau pahala juga kan yang akan mengalir terus menerus dari Allah?”
“Mau Buuuuu”, semua murid-murid menjawab serempak dengan suara cukup keras dan wajah ceria setelah mendengar cerita itu.
“Tapi ibu besok ngawas lagi kan” kata beberapa orang anak kepadaku
“Alhamdulillah, besok ibu tidak mengawas lagi.”
Selintas kumelihat wajah sedih mereka. “Betapa mereka ini sebenarnya adalah generasi yang cerdas dan bercahaya apabila dididik dengan pola yang benar. Mereka adalah generasi LUAR BIASA jika guru meyakinkan kepada mereka bahwa mereka adalah yang terbaik.”
Tak terasa bel berbunyi. Semuanya pulang dengan tertib dan menyalamiku layaknya seorang anak kepada ibu kandungnya. Senangnya kumelihat mereka.
Sembari salam, ada beberapa anak yang berucap, “Ibu, aku ingin jadi seperti Ibu. Doakan aku ya bu.”
Terharu batinku mendengar ucapan yang keluar dari anak-anak yang masih muda itu. Semoga Allah selalu menjaga mereka dan membimbing mereka ke jalan yang lurus.
(bersambung, insya Alloh)
***
Semoga kisah true story saya ini memberi hikmah bagi kita semua khususnya para Guru maupun para ibu yang akan membimbing anaknya menjadi generasi cerdas dan bertakwa.
Evi Andriani
Sumber : http://www.eramuslim.com/kisah/evi-andriani-the-power-of-smile-bagaimana-menjadikan-siswa-semangat-belajar-tahap-1.htm
Spion
Monday, 25/10/2010 10:15 WIB
Seorang siswa setir mobil begitu menyimak arahan-arahan dari instrukturnya. Sesekali, ia mengangguk-angguk seperti memahami sesuatu. “Prinsipnya, kita harus hati-hati dan konsentrasi dalam berkendaraan,” ucap sang instruktur sambil menyudahi bicaranya.
Sesaat setelah itu, mereka pun praktek lapangan. Mobil latihan sudah disiapkan. Satu per satu, siswa akan diberikan kesempatan untuk mengendarai mobil di jalan umum. “Ingat, kita harus hati-hati dan konsentrasi,” ujar instruktur sambil mengawasi salah seorang siswanya yang mulai melajukan mobil yang mereka tumpangi.
Siswa ini tampak tenang ketika mobil masih di areal sepi. Tapi, ia mulai gelisah saat mobil memasuki jalan umum. Mobil-mobil lain seperti tak peduli kalau mereka sedang belajar. Berbagai kendaraan saling mendahului dari sebelah kanan dan kiri mobil latihan. “Tiiin…!” suara klakson mobil yang mendahului kian menciutkan hati si siswa. Tapi, ucapan sang instruktur terus saja menyadarkan, “Hati-hati dan konsentrasi!”
Ada satu kebiasaan siswa yang sangat mengganggu konsentrasinya sendiri. Siswa begitu sering menatap kaca spion mobil. Kadang spion kiri, kadang tengah, kadang yang kanan. Setiap kali siswa menatap spion, kali itu juga konsentrasinya buyar. Ia seperti dihantui bayang-bayang seram.
“Murid-muridku,” ucap sang instruktur sambil mengawasi seorang siswa yang memarkir mobil di tempat yang aman. “Kalian dapat pelajaran berharga dari teman kita,” tambahnya seraya menatap satu per satu siswa yang ada dalam mobil.
Para siswa mulai menyimak. “Jangan pernah menatap kaca spion selama kalian tidak ingin berbelok atau berhenti. Karena kebiasaan itu akan mengganggu kenyamanan kalian dalam berkendaraan. Semakin sering kalian menatap spion, sebanyak itu pula kalian dihantui rasa takut,” jelas sang instruktur begitu gamblang.
**
Hidup merupakan perjalanan panjang yang melalui berbagai kesan dan pengalaman. Ada kesan pahit, manis, sedih, senang, takut, dan lain-lain. Kesan dan pengalaman yang pernah terlalui kadang menjadi bayang-bayang yang mengusik pandangan seseorang untuk melihat kedepan.
Saat itulah, tidak sedikit dari kita yang sulit menangkap pemandangan jernih di depan karena cengkraman pengalaman buruk di belakang. Enggan beranjak ke hari esok karena takut akan terulang dengan kesedihan di hari kemarin.
Mungkin benar apa yang disampaikan instruktur setir mobil. ”Jangan pernah menatap cerminan bayang-bayang di belakang, kalau memang tidak begitu perlu untuk dilakukan!”
Sumber: http://www.eramuslim.com/hikmah/tafakur/spion.htm
Ucapan
Seorang turis tampak menunggu angkutan umum di tepian jalan. Sudah
begitu lama ia menunggu angkutan yang bertuliskan lokasi tujuannya.
Tapi, semua angkot, begitu orang menyebutnya, yang melewatinya tidak
memajang dari dan kemana tujuannya. Ia hanya mendengar teriakan sang
sopir dengan satu kata yang diulang-ulang: terminal, terminal, dan
terminal!
Untuk kali berikutnya, turis yang sama tampak kebingungan ketika
sopir sebuah angkot memintanya turun dari angkutan umum yang ia
ditumpangi. Permintaan itu tampak wajar karena para penumpang yang lain
sudah terlebih dahulu turun dengan sedikit pun tidak menunjukkan
keberatan.
”Turun mister, kita cuma sampai sini!” tegas sang sopir sambil
menoleh ke arah sang turis.
”Tapi, tujuan yang tertulis kan masih jauh?” ucap sang turis
mengungkapkan kebingungannya.
”Jangan percaya yang tertulis, Mister! Kan tadi saya bilangnya cuma
sampai sini!” sergah sang sopir sambil memutar balik angkotnya.
Mendengar itu, sang turis yang akhirnya terpaksa turun pun kian
dibuat bingung. Mana yang harus dipegang di negeri ini: yang tertulis
atau yang diucapkan?
**
Menjadi pemandangan biasa di negeri ini adanya budaya ketidakcocokan
antara yang tertulis dengan yang diucapkan. Ketika sebuah layanan jasa
menuliskan pengumuman ’Tidak Memungut Biaya Apa pun!’, tetap saja orang
akan membayar jika sang petugas meminta.
Masyarakat negeri ini seperti sebuah komunitas desa besar yang lebih
berpegang pada ucapan daripada yang sudah tertulis dalam aturan dan
laporan.
(muhammadnuh@eramuslim.com)
Sumber : http://www.eramuslim.com/hikmah/tafakur/ucapan.htm
Fenomena Akhwat Facebook-ers
Senin, 10/01/2011 11:07 WIB
Suatu hari saat chatting YM, saat aku belum memiliki akun FB..
”Ada FB ga?”
”Ga ada. Adanya blog multiply. perempuanlangitbiru.multiply.com..”
Tak berapa lama kemudian.
”Kok foto di MPmu (multiply, red), anak kecil semuanya siih? Fotomu
mana?”, tanya seorang akhwat yang baru dikenal dari forum
radiopengajian.com.
”Itu semua foto keponakanku yang lucu..”, jawabku.
Suatu hari di pertemuan bulanan arisan keluarga..
"De' kok di FBmu ga ada fotomu siih?" tanya kakak sepupu yang baru
aja ngeadd FB-ku.
"Hehe.. Ntar banyak fansnya.." jawabku singkat sambil nyengir.
Suatu siang di pertemuan pekanan..
"Kak, foto yang aku tag di FB diremove ya? Kenapa kak?" tanya seorang
adik yang hanya berbeda setahun dibawahku..
"He.." jawabku sambil senyum nyengir yang agak maksa.
Suatu malam di rumah seorang murid.
”FBmu apa? Saya add ya..” tanya bapak dari muridku.
Setelah add FBku sang bapak bertanya, ”Kok ga ada fotonya siih?”
Aku hanya bisa ber-hehe-ria.
Dari beberapa kejadian itu, aku hanya bisa menyimpulkan bahwa yang
pertama kali dilihat orang ketika meng-add FB seseorang adalah
fotonya. Entahlah apa alasannya, mungkin memang ingin tahu bagaimana
wajah sang pemilik akun FB, padahal kan yang di add biasanya yang sudah
dikenal. Lantas jika memang sang empunya akun tidak memajang foto
dirinya di FB, langsung deh jadi bahan pertanyaan, bahkan untuk seorang
akhwat sekalipun.
Jika ditilik-tilik, fenomena foto akhwat yang bertebaran di dunia
maya nampaknya sudah bukan barang asing lagi. Kita dengan mudah
menemuinya termasuk di FB. FB yang merupakan suatu situs jejaring sosial
begitu berdampak besar bagi pergaulan masyarakat dunia, pun termasuk
pergaulan di dunia ikhwan akhwat.
Maraknya foto akhwat yang bertebaran di FB, membuat LDK (Lembaga
Da’wah Kampus) suatu kampus ternama harus membuat peraturan yaitu tidak
memperbolehkan akhwat aktivis da’wah kampus memajang foto dirinya di FB.
Tentu saja banyak reaksi yang muncul dari peraturan dan kebijakan itu,
mulai dari yang taat menerima dengan lapang dada sampai ada juga yang
mem’bandel’. Namun apalah arti sebuah peraturan jika memang kita tidak
mengetahui fungsi dan tujuannya dengan benar, dapat dipastikan peraturan
hanya untuk dilanggar jika ditegakkan tanpa kepahaman.
***
Di suatu pertemuan para akhwat aktivis da’wah kampus..
”Ayolaaah, foto bareng..” rayuku sebagai fotografer ketika
terheran-heran melihat seorang akhwat yang tidak mau ikut foto, menjauhi
kumpulan akhwat yang siap-siap berpose.
Selidik punya selidik ternyata akhwat tersebut kapok untuk difoto
karena fotonya beredar di FB padahal dia ga punya FB. Fotonya bisa
beredar di FB karena teman-teman satu jurusan mengunduh foto momen
bersama di FB yang tentu saja ada dirinya di dalam foto itu. Padahal
saat itu, aku belum punya FB (hanya memiliki blog di multiply) dan tidak
terbersit sedikit pun berniat untuk mempublish foto itu di dunia maya,
yaaa hanya untuk disimpan di folder pribadiku. Foto kebersamaan dengan
para saudari seperjuangan yang bisa membangkitkan semangat di saat-saat
tak bersemangat, hanya dengan melihatnya.
Jika diperhatikan dengan seksama, ternyata benar bahwa orang-orang
termasuk akhwat sudah terbiasa berkata, ”Nanti jangan lupa di upload n
di tag in di FB ya..” setelah melakukan foto bersama.
Benar saja! Di suatu kesempatan berselancar di dunia maya, di saat
aku akhirnya memutuskan membuat akun FB, melihat-lihat, berkunjung ke FB
para akhwat, dan ternyata benar saja foto-foto akhwat dengan mudah
dilihat para pengguna FB yang telah menjadi temannya. Aku yang memiliki
kepribadian idealis-pemimpi agak terkejut juga melihat hal itu, secara
baru terjun di dunia perFBan.
Terkejut karena kecantikan para akhwat dengan mudah dinikmati oleh
orang lain. Aku agak bingung juga harus bagaimana melihat fenomena
akhwat facebook-ers. Ada kekhawatiran apakah terlalu idealisnya
pikiranku yang mungkin sebenarnya mengunduh foto sudah menjadi hal yang
biasa saja di kalangan para akhwat. Itulah realita yang ada. Entah apa
yang melatarbelakangi para akhwat akhirnya mengunduh foto pribadinya
atau bersama rekan-rekannya di FB.
Hingga akhirnya pada suatu hari, terjadilah sebuah percakapan:
”Kenapa siih yang dilarang majang foto itu cuma akhwat? Kenapa ikhwan
juga ga dilarang?? Bukannya sama aja ya? Sama-sama bakalan dinikmati
kecantikan atau kegantengannya kan?” tanyaku bertubi-tubi kepada seorang
saudari yang sepemikiran denganku tentang fenomena foto akhwat di FB.
”Ya beda-lah.. Coba kita liat para cewek yang ngefans sama
artis-artis cowok Korea, mereka cuma ngeliat cowok Korea itu sekadar
suka-suka yang berlebihan.. Udaaaah, hanya sebatas suka ngeliat. Tapi
kalo cowok yang ngeliat foto cewek, itu beda. Kamu tau kan kalo daya
lihat para cowok itu berbeda? Ada pemikiran-pemikiran tertentu dari para
cowok ketika melihat seorang cewek bahkan hanya sekadar foto.”
Hmm.. yayaya.. Memang aku pernah mendengar bahwa daya lihat seorang
laki-laki itu 3 dimensi. Laki-laki bisa membayangkan dan memikirkan
hal-hal yang abstrak diluar dari yang dia lihat. Bahkan katanya lagi,
seorang laki-laki bisa saja memikirkan seorang perempuan tanpa berbusana
hanya karena melihat seorang perempuan yang berbusana mini berlalu di
hadapannya. Namun kebenaran itu belum bisa kubuktikan karena aku
hanyalah seorang perempuan biasa bukan seorang laki-laki.
Pantas saja Allah memerintahkan kita untuk menahan pandangan, seperti
dalam firman-NYA:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. . . . .”
(QS. An-Nuur [24] : 30-31)
Ayat ini turun saat Nabi Shalallahu a’laihi wassalam pernah
memalingkan muka anak pamannya, al-Fadhl bin Abbas, ketika beliau
melihat al-Fadhl berlama-lama memandang wanita Khats’amiyah pada waktu
haji. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa al-Fadhl bertanya kepada
Rasulullah Shalallahu a’laihi wassalam, “Mengapa engkau
palingkan muka anak pamanmu?” Beliau Shalallahu a’laihi wassalam
menjawab, “Saya melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka saya
tidak merasa aman akan gangguan setan terhadap mereka.”
Dari ayat diatas dapat dilihat bahwa yang diperintahkan untuk menahan
pandangan bukan saja laki-laki namun juga perempuan. Untuk itu, sudah
seharusnya kita menjaga pandangan dari hal-hal yang tidak seharusnya
kita pandang.
Lalu apa hubungannya dengan pemajangan foto di dunia maya?
Jika dulu kasus menjaga pandangan hanya karena bertemu dan bertatap
langsung, namun saat ini sudah lebih canggih lagi, tanpa bertemu dan
bertatap pun, godaan menahan pandangan itu tetap ada. Ya! Bisa jadi
dengan banyaknya bertebaran foto akhwat di dunia maya, itulah godaan
terbesar. Buat para ikhwan, harus mampu menahan pandangan di saat
berselancar di dunia maya, di saat-saat kesendirian berada di depan
layar komputer ataupun laptop. Kondisikan hati terpaut dengan Allah
saat-saat kesendirian, jangan sampai kita menikmati foto akhwat yang
bertebaran di dunia maya. Buat para akhwat, yang memang merupakan godaan
terbesar bagi para ikhwan, akankah kita terus menciptakan peluang untuk
membuat para ikhwan ter’paksa’ memandangi foto-foto pribadi kita?
***
Kejadian demi kejadian yang kutemukan di dunia maya begitu banyak
menyadarkanku akan pentingnya seorang akhwat menjaga dirinya untuk tidak
mudah mengupload foto dirinya di dunia maya.
Beberapa hari belakangan ini, ketika sedang mencari desain kebaya
wisuda untuk muslimah berjilbab di mesin pencari google, diri ini
dipertemukan dengan sebuah blog yang bernama 'jilbab lovers'. Pecinta
jilbab. Ya! Sesuai namanya, di blog itu berisi hampir semuanya adalah
foto-foto muslimah berjilbab dengan berbagai pose. Di antara beberapa
foto muslimah berjilbab itu, aku temukan 3 komentar yang mengomentari
foto seorang gadis, aku akui gadis dalam foto itu sungguh cantik,
memenuhi kriteria wanita cantik yang biasanya dikatakan sebagian besar
orang. Beginilah kurang lebih komentar 3 orang laki-laki pada foto gadis
itu dengan sedikit perubahan:
”Itu baru namanya gadis .. cantik nan islami.. sempuuuuurnaaaa...
salam kenal..”
”Subhanallah ada juga makhluk Allah seperti ini ya..”
”Subhanallah..”
Jika kita lihat ke-3 komentar diatas, bisa dilihat bahwa komentarnya
begitu islami dengan kata-kata Subhanallah namun juga menyiratkan bahwa
sang komentator begitu menikmati kecantikan sang gadis di dalam foto.
Hal ini menandakan bahwa siapapun yang melihat foto itu memang pada
akhirnya akan menikmati kecantikan sang gadis berjilbab. Allahurobbi,
akankah kita -para akhwat- rela jika kecantikan diri kita dapat dengan
bebas dinikmati oleh orang lain yang belum halal bagi kita bahkan belum
kita kenal?
Mungkin akan ada sebagian dari kita -para akhwat- yang akan
menepisnya, ”Aaahh,, itu kan foto close up. Kalo foto bareng-bareng ya
gpp donk?”
Hmm.. ada satu lagi yang kutemukan di dunia maya mengenai foto
muslimah berjilbab. Pernah suatu hari, ketika diri ini mencari gambar
kartun akhwat untuk sebuah publikasi acara LDF (Lembaga Da’wah Fakultas)
di mbah google, kutemukan foto muslimah berjilbab yang sudah diedit
sedemikian rupa hingga menjadi sebuah gambar porno. Memang gambar itu
tidak kutemukan langsung diawal-awal halaman pencarian google, tapi
berada di halaman kesekian puluh dari hasil pencarian keyword yang aku
masukkan. Terlihat foto wajah sang muslimah begitu kecil (kuduga dicrop
dari sebuah foto) dan dibagian bawah wajah sang muslimah berjilbab
diedit dengan dipasangkan foto/gambar sesuatu yang seharusnya tidak
diperlihatkan. Naudzubillahimindzalik..
Bagaimana perasaan kita jika seandainya melihat foto diri kita
sendiri yang sudah diedit menjadi gambar porno dan dinikmati oleh orang
banyak di dunia maya? Atau bagaimana perasaan kita jika ada kerabat
dekat yang melihat foto kita yang sudah diedit sedemikian rupa menjadi
gambar porno?
Semoga saja hal ini tidak menimpa diri kita. Ya Rabb,, bantu kami
–para akhwat- untuk menjaga kemuliaan diri kami..
Mungkin kita bisa mengambil teladan dari kejadian di bawah ini...
Suatu ketika, diri ini menemukan blog (multiply, red) seorang ustadz.
Dalam blog itu, terlihat foto sang ustadz bersama ketiga anaknya yang
masih kecil, tanpa terlihat ada istrinya. Di bawah foto itu diberi
keterangan, ”mohon maaf tidak menampilkan foto istri saya..”
Dari situ aku ambil kesimpulan bahwa sang ustadz sepertinya memang
tidak ingin menampilkan foto sang istri. Bisa jadi karena begitu besar
cintanya terhadap sang istri, maka tak boleh ada yang menikmati
kecantikan sang istri selain dirinya, begitu dijaga sekali kemuliaan
istrinya. Ya Rabb, semoga kami -para akhwat- bisa menjaga kemuliaan diri
kami..
Mungkin kita bisa mengambil hikmah dari kejadian di bawah ini...
Baru saja kemarin, di perkampungan multiply, MP, ada berita bahwa ada
seorang ikhwan yang tiba-tiba minta ta’aruf dengan seorang akhwat
padahal belum kenal sang akhwat dan hanya melihat foto sang akhwat di
FB. Huufffhh.. ada-ada aja..
Jika diliat dari akar masalahnya mungkin berasal dari foto sang
akhwat di FB, bukan begitu?
Jadi, apa yang akan kita –para akhwat- lakukan setelah ini?
***
Tulisan ini dipublish terutama ditujukan pada diri sendiri sebagai
seorang akhwat serta untuk saling mengingatkan para facebookers yang
lain. Semoga kita bisa menjaga kemuliaan diri kita sebagai seorang
akhwat ketika berada di dunia maya.
”Kejahatan itu bukan hanya sekadar berasal dari niat seseorang untuk
berbuat jahat tapi karena ada kesempatan. Waspadalah.. Waspadalah..”
Semangat bermanfaat!
Jadikan dunia maya sebagai ladang amal kita
###
Penulis bernama LhinBlue, seorang staf di biro PPSDM (Pengembangan
dan Pembinaan Sumber Daya Muslim) SALAM UI, yang baru saja menyelesaikan
studi S1 di Kimia FMIPA UI
Mahasiswi Kimia FMIPA UI 2006
Sumber : http://www.eramuslim.com/akhwat/muslimah/fenomena-akhwat-facebook-ers.htm
Langganan:
Postingan (Atom)